Rabu, 30 Maret 2011

Asal mula nama "Lemah Gempal" dan "Plered"

oleh Welcome To Semarang, Indonesia pada 04 Juni 2010 jam 18:29
Plered



Sejak zaman dulu, Semarang sering dilanda banjir. Hal itu tidak mengherankan mengingat daerah itu terletak di pantai; sementara di tengah kota itu melintas sebuah sungai besar.

Keadaan seperti itu amat meresahkan masyarakat, lebih2 pada musim penhujan. Dapat dipastikan, setiap kali hujan datang, banjir pun pasti datang. Jika terjadi banjir tidak sedikit harta benda penduduk yang hanyut dibawa air. Bahkan sering pula membawa korban jiwa.

Pemerintah kolonial Belanda yang ketika itu menguasai Semarang juga amat gelisah menghadapi hal itu. Setiap kali datang banjir dapat dipastikan gedung2 pemerintah juga terlanda banjir. Akibatnya, tidak sedikit surat2 penting basah atau hilang terbawa air. Lingkungan pun menjadi tampak kumuh dan tidak sehat.

Pemerintah Belanda mencari akal untuk menanggulangi banjir tersebut. Untuk itu, dikumpulkannya para insinyur pembangunan dari seluruh kantor pemerintah yang ada di Semarang. Diputuskanlah, untuk menanggulangi banjir itu ialah dengan membuat kanal. Kanal adalah parit besar yang berfungsi sebagai sungai. Sebagian aliran dari sungai induk dialirkan melalui kanal tersebut. Dengan cara demikian, aliran sungai menjadi lebih kecil sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya banjir.

Lalu dimulailah membangun dua buah kanal, yakni di Semarang bagian timur dan sebuah lagi di Semarang bagian barat. Kedua kanal itu kenudian dikenal dengan sebutan Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal barat. Maksudnya, kanal yang berfungsi untuk mengurangi banjir di wilayah bagian timur dan kanal yang berfungsi untuk mengurangi banjir yang terjadi di wilayah bagian barat Semarang.

Konon, ketika membangun kanal sebelah barat, para pekerja sempat dibuat bingung. Ada suatu tempat yang sangat sulit dikerjakan. Di tempat2 lain, tanah2nya mudah digali dan tanah galian itu pun dengan mudah ditumpuk pada kanan kiri lubang galian sehingga tanggul2 dapat terbentuk dengan baik.

Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan pengerjaan di tempat yang dimaksud. Di tempat itu, tanah2 hasil galian yang sudah dipinggirkan untuk dijadikan tanggul selalu longsor. Ber kali2 diperbaiki, ber kali2 pula longsor. Para pekerja menjadi bingung, lebih2 para insinyurnya. Berbagai teknik dicobakan untuk menanggulangi hal itu. Ternyata selalu gagal.

Salah seorang pekerja bangunan akhirnya menemukan akal. Ia yakin, apa yang terjadi itu benar2 di luar kemampuan akal.

"Bagaimana kalau kita carikan orang pintar?" begitulah ia suatu ketika bertanya atau minta persetujuan dari teman2nya.

"Kalau memang demikian yang terbaik, kenapa tidak?", salah seorang temannya menjawab.

"Ya...ya betul. Saya mendengar di dekat tempat ini ada seorang kyai yang amat sakti," salah seorang dari mereka menimpali.

"Bagaimana kalau kita minta tolong kepadanya?", tanya salah seorang di antara mereka.

"Ya, betul. Saya setuju. Daripada pekerjaan ini tidak pernah selesai," beberapa orang di antara mereka saling bersahutan.

Sementara itu, di sisi lain para insinyur terus berembug mencari jalan untuk menanggulangi hal tersebut. Selalu saja teori mereka gagal bila sudah diterapkan di lapangan. Tanggul itu selalu saja runtuh bergantian tempat. Sampai ber minggu2 pekerjaan itu belum juga selesai. Akhirnya para para insinyur itu pun angkat tangan, menyerah.

Pada waktu itu, salah seorang wakil pekerja mendatangi pimpinan proyek dan mendesak agar pimpinan itu meminta bantuan "Sang Kyai".
Singkat cerita diutuslah dua orang pekerja menemui Sang Kyai.
"Maaf, kisanak, saya sudah tahu kedatangan kisanak kemari, soal tanggul yang selalu gempal itu, bukan?"

"Betul Kyai."

"Baiklah. Ambil sebuah batu dari sebelah kanan rumah ini dan sebuah lagi dari sebelah kiri rumah ini. Tanamlah ke dua buah batu itu pada salah satu bagian tanggul yang sedang dikerjakan. Dengan izin Allah mudah2an tidak akan gempal lagi tanggul itu. Pulanglah kisanak dan jangan sekali2 menoleh ke belakang samapi tiba di rumah."

Pesan Sang Kyai dilaksanakan. Sesampai di tempat mereka mengerjakan tanggul, ditanamlah kedua batu yang mereka bawa dari rumah Sang Kyai. Pada saat itu, terjadilah suatu keajaiban. Reruntuhan tanah bekas tanggul tersebut kembali menyatu. Bagian2 tanggul yang semula longsor per-lahan2 menjadi utuh. Sejak itu penyelesaian tanggul selalu lancar.

Konon, bermula dari kejadian itulah daerah tersebut kemudian dikenal masyarakat dengan nama Lemah Gempal (Lemah dalam bahawa Jawa berarti tanah; gempal berarti longsor atau bongkah).

Sementara itu, tidak jauh dari tempat itu, arah ke hulu sungai atau kanal, dibangun sebuah pintu air. Gunanya untuk mengatur aliran air. Dari tempat itu aliran air dibagi menjadi dua arah. Pertama, diarahkan ke utara, yakni ke laut. Ke dua, diarahkan ke timur, ke kota; dimaksudkan untuk digunakan penduduk berkaitan dengan keperluan mereka se hari2.

Untuk mengatur jalan air tersebut, di tengah kanal dibangun sebuah tanggul (bendungan). Tanggul itu dibangun sedemikian rupa. Satu sisi, dibuat tegak lurus. Sisi ini ialah yang dipakai untuk mengatur arus air yang ke laut dan yang ke kota. Sisi yang lain, dibuat landai sekadar air dapat mengalir dengan lancar atau tidak terlalu deras.

Tempat yang landai ini ternyata menarik perhatian penduduk, terutama anak2. Mereka memanfaatkan tempat itu untuk mandi2 sambil bermain 'pleredan' (meluncur yang dilakukan ber-kali2, luncur2an).

Sampai sekarang tempat tersebut dan sekitarnya dikenal dengan nama "Plered".

KESIMPULAN :
Cerita ini tergolong legenda.

Petilasan Kanjeng Sunan Kuning

Petilasan Kanjeng Sunan Kuning

oleh Welcome To Semarang, Indonesia pada 04 Juni 2010 jam 22:07



Konon, di suatu tempat, hidup seorang petani kaya bernama Saribin. Dia memiliki ratusan kerbau dengan kandang yang amat luas.

Pada suatu malam, seluruh kerbaunya hilang, tidak ada seorangpun yang bisa dimintai keterangan. Saribin berusaha mencari kerbau2nya ber hari2 bahkan ber minggu2. Tidak terasa, perjalanan Saribin sampai di perbukitan kembar yang dikenal dengan nama Widoro Kandang dan Widoro Kayangan. Pepohonan di kedua perbukitan tersebut tumbuh subur sehingga udara terasa sejuk dan nyaman.

Saribin melepaskan lelah, dia duduk di bawah sebatang pohon. Karena kelelahan dia pun tertidur. Dalam tidurnya, Saribin bermimpi didatangi seorang tua, berambut dan berjenggot putih serta berpakaian serba putih. Dengan suara ketuaannya dan ter patah2, orang tua itu berkata kepada Saribin,

"Le, Saribin, kamu tidak usah bersedih. Kerbau2mu tidak hilang. Sayalah yang mengambilnya. Sengaja saya pinjam untuk membersihkan rumput2 di tempat ini. Saya minta maaf. Apa yang saya lakukan itu menyusahkanmu. Sekarang bangunlah. Bawalah kerbau2 muitu!".

Begitu selesai berucap, orang tua itu pun lenyap, namun pada saat bersamaan datang angin cukup kencang dengan membawa aroma yang sangat harum.

Saribin terkejut, dan terbangun. Dia hampir tak percaya dengan apa yang disaksikannya. Seluruh Kerbau miliknya ada di depan matanya sekarang. Yang lebih mengherankannya lagi, udara di sekitarnya masih bearoma yang sangat harum seperti di mimpinya.

Digiringnya kerbau2 miliknya kembali pulang ke kandang. Tidak seperti saat dia berangkat, perjalanan pulangnya kini dirasakan sangat ringan dan cepat, terlebih lagi aroma harum itu masih saja menyertainya sampai Saribin masuk ke dalam rumahnya.

Sambil melepaskan lelah, Saribin merenungkan seluruh kejadian yang dialaminya. Ia berkeyakinan bahwa perbukitan tempat dia beristirahat itu ditempati makhluk ghoib.

Saribin akhirnya mengambil keputusan hendak bertapa di tempat itu. Ia pun kembali ke tempat itu dan di situlah kemuduan dia duduk bersila melepaskan semua keinginan keduniawiannya. Makan, minum dan tidur pun dia tinggalkan.

Saribin bertekad tidak akan meninggalkan tempat itu sebelum mendapatkan sesuatu yang melegakan hatinya. Hingga pada suatu malam, antara sadar dan tidak, datanglah di hadapannya orang tua yang dulu pernah menemuinya dalam mimpi. Wajahnya amat bersih, berjenggot putih dan berpakaian serba putih pula.

"Hai, Saribin, kerbau2 mu sudah kau temukan bukan?"

"Sudah, Mbah,"

"Nah, karena kerbau2mu sudah saya kembalikan, sekarang saya ingin meminta sesuatu kepadamu. Bagaimna? Sanggup kamu memenuhinya?"

"Akan saya usahakan untuk memenuhinya, Mbah."

"Bagus. Tempat yang kau gunakan untuk bertapa ini, dahulu pernah digunakan untuk beristirahat dan berunding tiga sunan yang terkenal di Pulau Jawa ini."

"Aduh, kalau begitu saya minta maaf, Mbah. Saya tidak tahu," kata Saribin dengan gemetar.

"Tidak apa-apa, Le. Ke tiga Sunan itu pertama Kanjeng Sunan Kuning atau Mangkurat Mas. Kedua, Kanjeng Sunan Kali atau Mangkurat Man. Ketiga, Kanjeng Sunan Ambarawa atau Syekh Maulana Maghribi Kendil Wesi.
Setiap sunan dikawal oleh seorang penasihat. Sunan Kuning dikawal oleh Kyai Sekabad. Sunan Kali dikawal oleh Kyai Jimat. Sunan Ambarawa dikawal oleh Kyai Majapahit.
Pada saat berunding itu, ketiga sunan duduk berjajar dari barat ke timur. Yang duduk paling barat adalah Sunan Kuning. Di tengah Sunan Kali dan yang timur Sunan Ambarawa. Merka duduk di atas batu.
Pesan saya, rawatlah baik2 tempat ini. Mudah2an Allah akan memberi kemudahan kepada engkau dan anak keturunanmu dalam mencari rezeki, le. Tetapi ingat, setelah cukup uangmu, bergegaslah engkau ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji."

Begitu selesai kalimat itu, hilang pulalah orang tua itu.
Sejak saat itu, Saribin merawat tempat tersebut dengan baik. Kehidupan Saribin semakin membaik, hasil pertaniannya melimpah, kerbau2 nya beranak pinak. Sesuai amanat yang diterimanya, Saribin pergi ke Tanah Suci.

Akhirnya, ke tiga petilasan itu dibuatkan pelindung (berupa rumah kecil) oleh Saribin. Pada hari2 tertentu, khusunya malam Jum'at kliwon, banyak penduduk sekitar yang datang berziarah ke tempat itu. Saribin kemudian dikenal sebagai juru kunci petilasan tersebut.

Sampai sekarang, ketiga petilasan itu masih ada. Tempat itu kini lebih dikenal dengan Sunan Kuning dan terletak di Wilayah Kecamatan Semarang Barat, Kelurahan Kalibanteng Kulon, lebih satu setengah kilometer dari Bandara Ahmad Yani.

_________________________________

Masjid Tiban, Makam Aulia Sunan Kuning
Date November 7, 2007

Tidak banyak yang tahu siapa Sunan Kuning. Nama ini lebih dikenal sebagai tempat nista di Semarang. Sunan Kuning sebenarnya adalah Raden Mas Garendi, a.k.a Sunan Amangkurat III, salah satu raja dalam trah Kerajaan Mataram dan pecahan-pecahannya. Sunan Kuning termasuk murid Sunan Kalijaga, satu angkatan dengan Sultan Hadiwijaya (Pajang), Ki Ageng Pamanahan, Ki Ageng Penjawi, dan Ki Juru Martani.

Tidak banyak yang tahu juga di mana makamnya. Ternyata makam Sunan Kuning ada di Ds. Macanbang, Kabupaten Tulungagung. Makamnya ada di belakang masjid yang dikenal orang sebagai Masjid Tiban. Namun demikian — tanpa bermaksud buruk — seperti halnya makam-makam tua, tempat ini lebih banyak digunakan sebagai kegiatan syirik seperti pencarian nomor togel, wangsit, pusaka, dll.

Berikut foto-fotonya:

Atap masjid yang khas.

Ruangan utama masjid. Kelihatan sekali kalau masjid ini sudah tua sekali.

Asal Mula Nama Pasar Johar, Pasar Randusari, Pasar Bulu dan Bulu Stalan


oleh Welcome To Semarang, Indonesia pada 04 Juni 2010 jam 23:14

Kesalehan hidup Raden Pandan Arang atau Pangeran Pandan Arang dan keadilan pemerintahannya menjadikan Semarang terkenal, salah satu tempat yang menjadi pusat perdagangan kala itu ialah tempat yang kini dikenal dengan nama Pasar Johar.

Asal mula sebutan Pasar Johar, konon para pedagang menjajakan dagangannya di tempat terbuka. Mereka tidak berani mendirikan tenda2 atau gubuk2 karena ada larangan dari Pangeran. Larangan mendirikan tenda2 atau gubuk terpaksa dikeluarkan karena menurut Pangeran akan menjadikan tempat tersebut menjadi kumuh.

Pada suatu ketika, datang utusan perwakilan pedagang menghadap Pangeran. Mereka mohon agar Pangeran dapat menizinkan mereka untuk mendirikan tenda2 atau gubuk dan mereka berjanji akan menjaga kebersihan tempat itu sebaik-baiknya, namun jawab Pangeran,

"Yang terpenting kalian tidak terlalu panas ketika jual beli, bukan?. Baiklah. Akan kuberikan kepada kalian beberapa batang bibit pohon johar. Tanamlah bibit pohon itu di tempat kalian berjual beli. Dengan pertolongan Allah, kelak pohon2 itu akan hidup subur dan dapat menjadikan tempat teduh tempat kalian berjual beli. Perlu kalian ketahui bahwa manfaat pohon2 itu akan dapat dirasakan pula oleh masyarakat sekitar."

Keajaiban pun terjadi, pohon2 itu dalam waktu yang relatif singkat telah tumbuh dengan suburnya. Daerah itu menjadi tempat yang nyaman. Udaranya terasa sejuk, tidak lagi banyak debu beterbangan dan sinar matahari pun tidak lagi terasa menyengat.

Sejak itu masyarakat menyebut pasar tempat mereka berjual beli itu "Pasar Johar".

Diceritakan selanjutnya, Pangeran Pandan Arang memiliki mkegemaran ber jalan2 me liha2 kehidupan rakyatnya. Pada suatu hari, perjalanan Pangeran beserta para punggawa dan santrinya sampai di suatu pasar yang cukup ramai. Tidak mengherankan karena tempat itu teduh, udaranya nyaman, dan hampir semua barang yang dibutuhkan masyarakat ada di situ. Di tempat itu tumbuh sejumlah pohon randu yang amat rindang.


Karena pasar tersebut belum pernah dinamai siapa pun, maka Pangeran memberi nama pasar tersebut. "Pasar Randu Sari". Sari artinya ramai, sedangkam kata randu karena pasar tersebut berada di bawah pohon2 randu.

Konon, setelah berisitirahat beberapa saat di Pasar Randu Sari, Pangeran Pandan Arang beserta rombongan meneruskan perjalanan ke arah barat. hal itu dilakukan karena berdasarkan laporan, di wilayah itu banyak penduduk atau masyarakat yang hidupnya susah.

Belum berapa jauh dari Pasar Randu Sari, rombongan Pangeran menjumpai tempat masyarakat berjual beli yang tak kalah ramainya dengan Pasar Randu Sari. Kecuali lebih ranai, tempat itu tampak lebih nyaman dan lebih bersih. Di tempat itu banyak pohon2 rindang tumbuh dengan suburnya.


Karena di tempat tersebut kebetulan banyak ditumbuhi pohon2 bulu yang sangat rindang, maka Pangeran menamakannya "Pasar Bulu".

Sejak itu, pasar itu dikenal masyarakat dengan Pasar Bulu sampai sekarang. Keramaian Pasar Bulu dengan berbagai kegiatan perdagangannya dan wajah perkampungan sekitar Pasar Bulu dengan kandang-kandang kudanya. Keadaan tersebut berlangsung terus sampai kedatangan bangsa Belanda di Semarang.

"Wah, banyak staal di sini, ya?" kata seorang Belanda yang lewat di Pasar Bulu.

"Staal? Apa itu, staal, Tuan?" tanya salah seorang pribumi yang tengah memperhatikannya.

"Staal... staal itu tempat kuda," jawab orang Belanda tersebut.

"Maksud Tuan, kandang kuda?"

"Betul, kandang kuda".

"Oh, ya. Di sini memang banyak tempat stalan" kata orang pribumi itu dengan bangga.

Dalam perjalanan waktu, akhirnya daerah itu terkenal dengan sebutab "Bulu Stalan". Maksudnya, daerah di sekitar Pasar Bulu yang banyak "staalnya", banyak kandang kudanya.

Nostalgia : KOTA LAMA

oleh Welcome To Semarang, Indonesia pada 05 Juni 2010 jam 17:16

Sebagai kota yang sudah berusia tua, 464 tahun pada 2 Mei 2011, Semarang memiliki banyak bangunan kuno, peninggalan zaman Belanda. Meski banyak yang kalah melawan waktu dan kepentingan komersial, masih ada beberapa bangunan yang bertahan, bahkan menjadi penanda (tetenger) sebuah kawasan.

Bangunan2 itu terletak di jantung Kota Semarang. Ada yg menyebutnya sebagai Kawasan Kota Lama. Dulunya disebut kampung Eropa karena di sinilah bermukim orang2 Belanda maupun orang Eropa lainnya.

Kawasan Kota Lama masih menyisakan sejuta pesona keindahan arsitektur Eropa meski telah dilecehkan secara budaya oleh rancangan bangunan2 baru yg tidak memperhatikan keunikan, karakter, dan cita rasa kawasan beresejarah kota.

Keberadaan Kawasan Kota Lama itu sangat terkait dengan kekuasaan pemerintah Belanda di Semarang. Kekuasaan itu berawal dari bangkrutnya kongsi dagang Hindia Timur Verenigde Ooost-indische Compagnie (VOC) pada 1799. Di bawah pemerintahan Kolonial Belanda, Semarang dijadikan sebagai "Batavia Ke dua". Waktu itu telah berkembang pelabuhan dagang, juga permukiman dalam Kota Benteng De Vijfhoek dan Kota Benteng De Europesch Burt, yang sekarang dikenal sebagai Kawasan Kota Lama.

Kini, kekunoan kota lama tinggal melekat pada bangunan2 yang tersisa, itupun sedikit banyak telah mengalami perombakan. Situasi dan nama2 jalan tinggal kenangan, sebab sejak kemerdekaan nama2 jalan sudah diindonesiakan. Misalnya, Noorderwalstraat diganti Jln. Merak, Westerwalstraat diubah namanya menjadi Jl. Mpu Tantular, Zyderwalstraat bertukar nama dengan Jl. Kepodanga, dan Oosterwalstraat lenyap diganti Jl. Cendrawasih.

Jika nama jalan berubah total, tidak demikian dengan nama tempat. namun, banyak yang keseleo lidah ketika mengucapkannya. Pendrikan, misalnya, berasal dari kata van Hendrik-lan. Dulu di kawasan ini tinggal seorang tuan tanah berpengaruh bernama van Hendrik (tapi ada yang berpendapat tempat ini diambil dari nama Prince Hendrik lan, nama suami Ratu Wilhelmina). Seteran dari kata schietterrein (lapangan tembak)> Memang betul, di sini dulu terdapat lapangan tembak militer. Cenilan aslinya Genie-lan, karena di tempat ini dulu ada asrama pasukan Genie (Zeni). Masih ada Sentiling yg berasal dari kata Koloniale Tentoonstelling (Pekan Raya Kolonial), Bojong dari kata boot-jonggen, dan Pasar Ya ik, menner (panggilan untuk tuan2 Belanda waktu itu).


________________

Bodjongweg

Bojong, sekarang ini dikenal dengan nama Jl. Pemuda, tampangnya sekarang sudah jauh berbeda dibandingkan dengan wajahnya tempo dulu. Dahulu kala di sepanjang jalan ini bertebaran pohon asam dan kenari yang akan memayungi langkah kita saat ber jalan2 di siang hari.

Pohon2 asam ini sempat menimbulkan decak kagum P.A. van der Lith dan John F. Senellemen, penulis Belanda. Sedangkan S. Kalff memuji barisan pohon kenari dengan sebutan amandelboomen van het Oosten (pohon2 amandel dari Negeri Timur). Bahkan Otto Knaap dalam tulisannya Semarang in Vogelvucht menyimpulkan, dibandingkan dengan indahnya Jl. Salemba di Jakarta dan Jl. Simpang di Surabaya, Jl. Bojong merupakan mahkota keindahan dari semuanya itu.

Sekarang, sisa2 keindahan Bojong hanya bisa dinikmati melalui peninggalan2 bangunan kolonial yang tersebar di sepanjang jalan itu. Di ujung utara ada Jembatan Berok yang cukup tua, dan dalam perkembangannya mengalami beberapa kali perubahan wajah. Jembatan ini di bangun pada masa VOC dengan nama Government Brug karena jembatan ini menuju De Groote Huis, kantor Gubernur VOC. Dari kata brug jembatan itu terletuplah nama jembatan Berok.

Tak jauh dari jembatan Berok terdapat Gedung papak atau biasa dikenal Het Groote Huis yang dibangun pada 1854. Sejak 1880 gedung ini berfungsi sebagai Balai Kota Semarang, kantor polisi dan karesidenan, sampai kantor pos dan keuangan. Pernah juga dijadikan sebagai kantor Gubernur pada masa Gubernur Wongsonegoro. Tahun 1954 gedung ini terbakar dan memusnahkan semua ardip yang ada di dalamnya.

Di sebelahnya persis terdapat Gedung Kantor Pos dan Telegraf Semarang yang didirikan tahun 1906. Sampai saat ini masih digunakan sebagai kantor pos.

Di sepanjang jalan ini ada juga hotel yang tak asing bagi warga Semarang, Hotel Dibya Puri. Awalnya, hotel ini bernama Hotel Du Pavillon yang menjadi hotel Eropa ke-3 di Semarang. Cikal bakalnya adalah bangunan villa besar bertingkat dengan halaman luas. Tentang keindahannya, R.A. Kartini menuliskannya dalam Een Gouverneur Generalsdag begini, "Bukan main takjub kami waktu gapura kehormatan yang bermandikan lampu cahaya di Hotel Du Pavillon itu tampak. Pandangan itu membuat kami teringat pada dongengan2 yang ajaib." Kala itu R.A. Kartini dan saudara2nya pergi ke Semarang dalam rangka menyambut Gubernur Jenderal Rossebom dan Nyonya.

Nuansa kolonial di sekitar Bojong tersirat pada Gedung Lawang Sewu yang berada di ujung selatan Bojong. Disebut Lawang Sewu (Seribu Pintu) karena memiliki banyak pintu (meski jumlahnya tidak sampai seribu). Gedung ini merupakan bangunan khas di Kota Semarang milik NIS (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschapij (perusahaan kereta api pertama di Indonesia), yang berdiri tahun 1864. Saat ini gedung tersebut sedang direnovasi.

Di seberang Lawang Sewu berdiri Wisma Perdamaian yang sekarang menjadi rumah dinas Gubernur Jawa Tengah. Meski mengalami banyak "operasi plastik", sisa2 keasliannya sebagai bangunan masa lalu masih kentara. Dibangun oleh Nicolaas Hartingh dengan nama De Vredestein atau Istana Perdamaian, gedung ini dibangun pada masa VOC dan dipakai sebagai tempat resmi kediaman Gubernur VOC untuk kawasan provinsi Pantai Tenggara.

Kalau ingin menikmati suasana Eropa, bisa dilihat Kota Lama. Bangunan berciri Portugis dan Italia dapat ditemui pada Gereja Imanuel (Gereja Blenduk). Beberapa gedung di Jl. Letjen Suprapto, Jl. Gelatik, Jl. Taman Srigunting, Jl. Kedasih lebih bercirikan Perancis Selatan. Satu2nya bangunan bergaya Belanda hanyalah gedung bekas Pengadilan Negeri Semarang. Thomas Karsten, arsitek Belanda terkenal, memadukanunsur lokal dan Belanda untuk karyanya pada gedung yang sekarang ditempati oleh perusahaan asuransi Jiwasraya dan perusahaan angkutan Jakarta Lloyd.

Dari beberapa gedung tadi, Gereja Imanuel atau Gereja Blenduj merupakan tetenger (penanda) Kota Lama Semarang. Usianya kurang lebih 250 tahun. Mulanya dibangun Portugis kemudian disempurnakan oleh Belanda. Pada renovasi tahun 1894 - 1895 oleh arsitek Belanda, HPA de Wide dan Westmass, gereja ini memperoleh dua ciri khasnya : dua buah menara jam dan atap setengah lingkaran (orang Jawa menyebutnya belnduk). Bangunan ini masih berfungsi sebagai tempat ibadah dan masuk peringkat pertama klasifikasi A konservasi bangunon kuno di Kota Semarang. Ini artinya bangunan itu tidak boleh dirombak, dibongkar atau dikurangi.

Tak bisa ditinggalkan adalah Stasiun Tawang, yang merupakan stasiun terbesar di Semarang. Stasiun ini didirikan pada 17 Juni 1864, bersamaan dibangunnya rel kereta api Semarang - Solo - Yogyakarta.

Sebelumnya Semarang sudah memiliki stasiun di Tambaksari Jurnatan (yang kemudian berubah menjadi terminal bis antar kota, dan sekarang menjadi pusat pertokoan). Berhubung diperlukan stasiun yang lebih luas, dibangunlah stasiun Tawang, yang dikelola oleh NV NIS. Kini Stasiun Tawang masih berfungsi sebagai stasiun dan dikelola oleh PT. KAI.

Masih banyak lagi bangunan lain yang memiliki nilai sejarah tinggi di kota ini. Yang menjadi pertanyaan, mampukah bangunan2 itu bertahan dan berdiri kokoh di tengah2 pusaran arus perubahan yang amat deras? Akankah kepentingan2 komersial menang melawan kepentingan sejarah yang terkadang jauh dari nilai komersial? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Source : Drs. Hamdan Tri Atmaja, M.Pd, Intisari, Mei 2005.

Rumah Setan (Vrijmetselaars-Loge)


oleh Welcome To Semarang, Indonesia pada 09 November 2010 jam 11:45

Pada zaman Hindia-Belanda terdapat kepercayaan atau faham yang mempunyai banyak pengikut, yaitu “Vrijemetselarij”. Tempat ibadahnya disebutr “La Constante Et Fidele”. Para pemeluk faham itu mempunyai kebiasaan yang tidak dilakukan oleh pemeluk agama lain. Dalam pelaksanaan ritual mereka biasa memanggil roh-roh untuk diajak berkomunikasi di loji ritual mereka, tidak di alam terbuka.

Kaum “vrijmetselarij” terdapat di banyak tempat di wilayah Hindia Belanda, termasuk di Kota Semarang. Tempat ritual mereka di Kota Semarang berada di sebuah bangunan megah, yang berdiri di Jalan Poncol (Imam Bonjol) dekat perempatan Pendrikan dan Karang Tengah (Jl. Pierre Tendean). Di sebelah selatan gedung tersebut terdapat rel kereta api dari arah Jl. Bojong (Jl. Pemuda) lewat Jl. Karang Tengah menuju tempat langsir di Pendrikan dan terus ke pelabuhan.

Karena sifat faham dan cara ritual itu, loji “Le Cnstante Et Fidele” oleh masyarakat Semarang dinamakan “Rumah Setan”. Bangunan yang artistik itu kini sudah tak berbekas, karena telah dibongkar pada tahun 1976.

Rumah setan sekarang.

Brandweer (Pemadam Kebajaran) tempo dulu


Semarangse motorbrandspuit tahun 1938

oleh Welcome To Semarang, Indonesia pada 08 November 2010 jam 20:36

Seperti kota-kota lainnya, Semarang tempo dulu juga rentan kebakaran, terutama di Kota Bawah yang banyak bangunan dengan menggunakan material yang mudah terbakar.

Meskipun saat itu Pemerintah (Gemeente Semarang) telah mempersiapkan diri menghadapi bahaya kebakaran, namun Brandweer dan Waterleiding (PDAM, saat itu) nyaris tidak ada kerjasama dan koordinasi yang berarti, meskipun kebutuhan mereka sama, yaitu air yang mengalir, lebih-lebih di musim kemarau.

Brandweer di bawah kendali Direktur Pekerjaan Umum saat itu hanya 5 penyemprot yang digerakkan dengan tangan, dan 6 penyemprot bertenaga uap. Personelnya adalah tenaga-tenaga sukarela, dibantu oleh tenaga-tenaga dari Burgelijke Openbare Werken (BOW/Negara) Gemeente; perusahaan perkereta apian dan swasta.

Kereta-kereta penyemprot di tempatkan di beberapa tempat di kota, tetapi waktu dibutuhkan tidak bisa dioperasikan dengan segera, sehingga sulit untuk menanggulangi kebakaran yang besar.

Pada tahun 1914, Gemeente Semarang mengganti peralatan tangan dengan kereta-kereta kecil yang masing-masing mengangkut selang sepanjang 125m, pipa penyemprot, kunci untuk membuka hidran ditambah sebuah alat penyemprot cepat, satu kapak dan 1 buah roll tali.

Kereta-kereta pengangkut selang di tempatkan di pos-pos polisi agar sewaktu-waktu bisa digunakan apabila terjadi kebakaran di wilayah masing-masing.


Semarangse motorbrandspuit tahun 1938

Oud Straatnamen (Nama2 Djalan Tempo doeloe)




Achterkerkstraat - Jl. Garuda
Alexanderstraat - Karanganyar Gunung
Aloon-aloon - Jl. H. Agus Salim
Ambengan - Jl. MT Haryono (antara Jl. Jagalan s/d Jl. Petudungan)
Atmodironoweg - Jl. Atmodirono
Bangkong - Jl. MT Haryono (antara perempatan Bangkong s/d Metro)
Be Biauw Tjwanweg - Jl. DI. Panjaitan
Bendoengan - Jl. Kelud
Bergotaweg - Jl. Kyai Saleh
Boeloe - Jl. MGR. Sugiyopranoto
Dr. Djawastraat - Jl. Kol. Sugiyono
Djoernatan - Jl. H. Agus Salim
Djomblang - Jl. MT. Haryono (antara Metro s/d Mrican)
Doewet - Jl. Gajahmada (antara perempatan Depok, Kranggan s/d Jl. Pemuda)
Genielaan (Senilan) - Jl. Tanjung
Genoek - Jl. Sriwijaya (antara Jl. Pahlawan s/d pertigaan Singosari)
Gergadji - Jalan Veteran
Halmaheraweg - Jalan Halmahera
Hawaweg - Jalan Hawa
Heerenstraat - Jalan Letjen. Suprapto
Hiriweg - Jalan Hiri
Hoogenraadslaam - Jl. A. Yani
Kali Koping - Kali Semarang
Karrenweg - Jl. Dr. Cipto (antara Mulo s/d Rejosari)
Karang Tengah - Jl. Pierre Tendean
Kemoeningstraat - Jl. Kemuning
Koendjaranplein - Jl. Sompok
Lucieparaweg - Jl. Lusipara
Mangkoenegaran - Jl. Yudistiro dan sekitarnya (belakang Wisma Perdamaian)
Oei Tiong Bing weg - Jalan Sultan Agung
Oei Tiong Ham weg - Jalan Pahlawan
Pandean - Jl. MT. Haryono ( antara Jl. Petudungan s/d Bubakan)
Pandean Lamper - Jl. Brigjen Katamso
Peloran - Jln Gajahmada (Kali Semarang s/d Perempatan Depok)
Prins Hendriklan (Pendrikan) - Jalan Imam Bonjol
Pieter Sijthofflaan - Jalan Pandanaran
Progoplein - Taman Progo
Rezervoirweg - Jl. Djomblang
Seteran (Schietterein) - Jln Gajahmada (Kali Semarang s/d Citraland)
Tjap Kauking - sekitar Wot gandul
Toempangweg - Jl. Tumpang
Villapark - Westerwalstraat
Wilhelminaplein -Seputar Tugu Muda
Woengkalweg - Jl. Wungkal