Berdasarkan pada fenomena yang telah diuraikan di atas, dilakukan penelusuran sumber sejarah di Kampung Batik dengan metode sejarah lisan. Beberapa informan sesepuh di kampung itu membenarkan bahwa dulu Kampung Batik memang pernah menjadi salah satu sentra perajin batik sampai dengan kedatangan Jepang pada tahun 1942. Pada masa pendudukan Jepang, Kampung Batik dibakar sampai musnah segala aktivitas ekonominya. Ada dua versi kisah tentang pembakaran kampung Batik. Versi Pertama mengisahkan bahwa kampung batik dibakar oleh tentara Jepang, ketika terjadi konflik antara pemuda warga kampung Batik dan Jepang (wawancara dengan Ibu Tien Wahono /65 tahun, warga Kampung Batik Krajan Baru). Versi Ke dua menceritakan bahwa ketika Jepang datang di Semarang, pemerintah Belanda di kota ini memberikan instruksi secara diam-diam untuk membumihanguskan tempat-tempat yang memiliki potensi ekonomi (Brommer dkk.). Kampung Batik menjadi sasaran pembakaran, sehingga peralatan-peralatan dan kegiatan membatik sirna hingga sekarang.
Dulu banyak warga Kampung Batik melakukan kegiatan membatik dengan motif-motif yang sesuai dengan kehendak perajin sendiri. Jadi, mereka membatik tanpa motif yang baku seperti di daerah Surakarta dan Yogyakarta. Perajin batik tidak hanya terdapat di Kampung Batik, tetapi juga di Kampung Kulitan, Bugangan, Rejosari, dan lain-lain.
Motif Batik Semarang
Menurut penuturan beberapa sesepuh di kampung-kampung kuno di Kota Semarang, dulu orang Semarang membatik untuk dipakai sendiri. Dengan demikian, motif batik rakyat tergantung pada keinginan, imajinasi, ekspresi, dan kreasi pembatik. Rakyat Semarang tidak pernah membakukan motif dan nama batik seperti batik di vorstenlanden (kerajaan Surakarta dan Jogjakarta), contohnya: Sido Mukti, Sido Luhur, Sekar Jagat, Parang Kusumo, Parang Barong, dan sebagainya.
Pada umumnya, orang Semarang tempo dulu membatik dengan motif naturalis (ikan, kupu-kupu, burung, ayam, bunga, pohon, bukit, dan rumah), tidak simbolis seperti batik-batik di Surakarta dan Jogjakarta. Dari penelitian, dapat diketahui bahwa motif naturalis menjadi ciri khas batik yang diproduksi oleh masyarakat pesisir utara Jawa. Ciri ini dapat dimaknai sebagai karakter masyarakat pesisir yang lebih terbuka dan lebih ekspresionis jika dibandingkan dengan masyarakat pedalaman Jawa (Surakarta dan Jogjakarta) yang lebih dilingkupi oleh sistem simbol, norma-norma, dan aturan-aturan di bawah kekuasaan raja.
Konon, orang-orang Semarang tempo dulu sangat menyukai motif burung merak dengan latar perbukitan dan pohon bambu. Setelah diteliti lebih mendalam, ternyata motif ini merupakan pengaruh dari kebudayaan Cina, yang mempercayai bahwa burung merak dan bambu memiliki nilai filosofi yang sangat bagus untuk kehidupan.
Berdasarkan A Dictionary of Chinese Symbols, burung merak merupakan lambang keagungan, keindahan, pelindung keturunannya dari segala bahaya, serta dapat mengusir pengaruh-pengaruh buruk. Oleh karena makna yang bagus itu, dalam kebudayaan Cina gambar burung merak sering digunakan sebagai hiasan busana kebesaran pejabat-pejabat kerajaan. Rumpun bambu, yang dalam bahasa Cina disebut Zhu, bermakna lambang permohonan doa. Selain itu, pohon bambu juga memiliki ruas-ruas yang merupakan simbol silsilah, dan merupakan ciptaan Tuhan yang dapat hidup di segala iklim serta cuaca. Sifatnya ini menjadi lambang kemudahan dalam menempuh kehidupan.Oleh karena itu, gambar burung merak dan rumpun bambu sering digunakan sebagai hiasan pada kaca-kaca, kartu-kartu ucapan, dan kain.
Pada awal abad ke-20 sampai dengan tahun 1970-an, di Semarang ada satu perusahaan batik yang bernama “Batikkerij Tan Kong Tin”. Perusahaan batik ini terletak di Bugangan, milik orang Tionghoa peranakan bernama Tan Kong Tin, yang menikah dengan Raden Ayu Dinartiningsih, salah satu keturunan Hamengku Buwana III dari Jogjakarta.
Tan Kong Tin memperoleh keahlian membatik dari istrinya yang masih kerabat keraton Jogja tersebut. Ia adalah salah seorang putera dari Tan Siauw Liem, seorang tuan tanah di Semarang, yang mendapat gelar mayor dari pemerintah Hindia Belanda. Kekayaan tanahnya meliputi kawasan Bugangan sampai Plewan, seluas 90 ha. Jadi, tidaklah mengherankan jika puteranya diambil sebagai menantu oleh sultan di Jogjakarta.
Keahlian dalam usaha batik diturunkan kepada puteri Tan Kong Tin, Raden Nganten Sri Murdijanti, yang meneruskan perusahaan Tan Kong Tin sampai dengan tahun 1970-an. Setelah kemerdekaan Indonesia, Raden Nganten Sri Murdijanti memperoleh hak monopoli batik untuk wilayah Jawa Tengah dari Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI).
“Batikkerij Tan Kong Tin” memiliki sejumlah pegawai yang digolongkan dalam fungsi-fungsi sebagai berikut: carik (pembuat design motif batik), pembatik, dan tukang celup. Jumlah pembatik di perusahaan itu cukup banyak, berasal dari kampung-kampung Rejo sari, Kintelan, Kampung Batik, Karang Doro, Mlaten Trenggulun, Kampung Darat, dan Layur. Jumlah produk batik disesuaikan dengan pesanan, jadi tidak diproduksi secara massa, mengingat pembuatannya sangat rumit dan memerlukan waktu lama (kira-kira satu bulan setiap lembar kain sepanjang 2,5 meter). Pemesan batik pada masa kolonial Belanda berasal dari kalangan pejabat-pejabat pemerintahan, para turis, dan pedagang. Produk-produk yang dipesan berupa jarit, selendang, dasi, dan topi.
Motif-motif batik “Batikkerij Tan Kong Tin” mengekspresikan perpaduan antara motif batik Jogja dan pesisir. Perpaduan budaya ini dapat dipahami dengan mengingat bahwa keluarga Tan Kong Tin memang campuran antara orang Jogja dan Semarang, serta secara geografis letak Semarang dekat dengan Jogja, sehingga kedua unsur budaya itu tentu dapat saling mempengaruhi dan saling mengadaptasi. Berikut ini diketengahkan contoh motif batik Semarang, yang diproduksi oleh “Batikkerij Tan Kong Tin”.
Source : dari berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar