oleh Welcome To Semarang, Indonesia pada 04 Juni 2010 jam 18:29
Sejak zaman dulu, Semarang sering dilanda banjir. Hal itu tidak mengherankan mengingat daerah itu terletak di pantai; sementara di tengah kota itu melintas sebuah sungai besar.
Keadaan seperti itu amat meresahkan masyarakat, lebih2 pada musim penhujan. Dapat dipastikan, setiap kali hujan datang, banjir pun pasti datang. Jika terjadi banjir tidak sedikit harta benda penduduk yang hanyut dibawa air. Bahkan sering pula membawa korban jiwa.
Pemerintah kolonial Belanda yang ketika itu menguasai Semarang juga amat gelisah menghadapi hal itu. Setiap kali datang banjir dapat dipastikan gedung2 pemerintah juga terlanda banjir. Akibatnya, tidak sedikit surat2 penting basah atau hilang terbawa air. Lingkungan pun menjadi tampak kumuh dan tidak sehat.
Pemerintah Belanda mencari akal untuk menanggulangi banjir tersebut. Untuk itu, dikumpulkannya para insinyur pembangunan dari seluruh kantor pemerintah yang ada di Semarang. Diputuskanlah, untuk menanggulangi banjir itu ialah dengan membuat kanal. Kanal adalah parit besar yang berfungsi sebagai sungai. Sebagian aliran dari sungai induk dialirkan melalui kanal tersebut. Dengan cara demikian, aliran sungai menjadi lebih kecil sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya banjir.
Lalu dimulailah membangun dua buah kanal, yakni di Semarang bagian timur dan sebuah lagi di Semarang bagian barat. Kedua kanal itu kenudian dikenal dengan sebutan Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal barat. Maksudnya, kanal yang berfungsi untuk mengurangi banjir di wilayah bagian timur dan kanal yang berfungsi untuk mengurangi banjir yang terjadi di wilayah bagian barat Semarang.
Konon, ketika membangun kanal sebelah barat, para pekerja sempat dibuat bingung. Ada suatu tempat yang sangat sulit dikerjakan. Di tempat2 lain, tanah2nya mudah digali dan tanah galian itu pun dengan mudah ditumpuk pada kanan kiri lubang galian sehingga tanggul2 dapat terbentuk dengan baik.
Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan pengerjaan di tempat yang dimaksud. Di tempat itu, tanah2 hasil galian yang sudah dipinggirkan untuk dijadikan tanggul selalu longsor. Ber kali2 diperbaiki, ber kali2 pula longsor. Para pekerja menjadi bingung, lebih2 para insinyurnya. Berbagai teknik dicobakan untuk menanggulangi hal itu. Ternyata selalu gagal.
Salah seorang pekerja bangunan akhirnya menemukan akal. Ia yakin, apa yang terjadi itu benar2 di luar kemampuan akal.
"Bagaimana kalau kita carikan orang pintar?" begitulah ia suatu ketika bertanya atau minta persetujuan dari teman2nya.
"Kalau memang demikian yang terbaik, kenapa tidak?", salah seorang temannya menjawab.
"Ya...ya betul. Saya mendengar di dekat tempat ini ada seorang kyai yang amat sakti," salah seorang dari mereka menimpali.
"Bagaimana kalau kita minta tolong kepadanya?", tanya salah seorang di antara mereka.
"Ya, betul. Saya setuju. Daripada pekerjaan ini tidak pernah selesai," beberapa orang di antara mereka saling bersahutan.
Sementara itu, di sisi lain para insinyur terus berembug mencari jalan untuk menanggulangi hal tersebut. Selalu saja teori mereka gagal bila sudah diterapkan di lapangan. Tanggul itu selalu saja runtuh bergantian tempat. Sampai ber minggu2 pekerjaan itu belum juga selesai. Akhirnya para para insinyur itu pun angkat tangan, menyerah.
Pada waktu itu, salah seorang wakil pekerja mendatangi pimpinan proyek dan mendesak agar pimpinan itu meminta bantuan "Sang Kyai".
Singkat cerita diutuslah dua orang pekerja menemui Sang Kyai.
"Maaf, kisanak, saya sudah tahu kedatangan kisanak kemari, soal tanggul yang selalu gempal itu, bukan?"
"Betul Kyai."
"Baiklah. Ambil sebuah batu dari sebelah kanan rumah ini dan sebuah lagi dari sebelah kiri rumah ini. Tanamlah ke dua buah batu itu pada salah satu bagian tanggul yang sedang dikerjakan. Dengan izin Allah mudah2an tidak akan gempal lagi tanggul itu. Pulanglah kisanak dan jangan sekali2 menoleh ke belakang samapi tiba di rumah."
Pesan Sang Kyai dilaksanakan. Sesampai di tempat mereka mengerjakan tanggul, ditanamlah kedua batu yang mereka bawa dari rumah Sang Kyai. Pada saat itu, terjadilah suatu keajaiban. Reruntuhan tanah bekas tanggul tersebut kembali menyatu. Bagian2 tanggul yang semula longsor per-lahan2 menjadi utuh. Sejak itu penyelesaian tanggul selalu lancar.
Konon, bermula dari kejadian itulah daerah tersebut kemudian dikenal masyarakat dengan nama Lemah Gempal (Lemah dalam bahawa Jawa berarti tanah; gempal berarti longsor atau bongkah).
Sementara itu, tidak jauh dari tempat itu, arah ke hulu sungai atau kanal, dibangun sebuah pintu air. Gunanya untuk mengatur aliran air. Dari tempat itu aliran air dibagi menjadi dua arah. Pertama, diarahkan ke utara, yakni ke laut. Ke dua, diarahkan ke timur, ke kota; dimaksudkan untuk digunakan penduduk berkaitan dengan keperluan mereka se hari2.
Untuk mengatur jalan air tersebut, di tengah kanal dibangun sebuah tanggul (bendungan). Tanggul itu dibangun sedemikian rupa. Satu sisi, dibuat tegak lurus. Sisi ini ialah yang dipakai untuk mengatur arus air yang ke laut dan yang ke kota. Sisi yang lain, dibuat landai sekadar air dapat mengalir dengan lancar atau tidak terlalu deras.
Tempat yang landai ini ternyata menarik perhatian penduduk, terutama anak2. Mereka memanfaatkan tempat itu untuk mandi2 sambil bermain 'pleredan' (meluncur yang dilakukan ber-kali2, luncur2an).
Sampai sekarang tempat tersebut dan sekitarnya dikenal dengan nama "Plered".
KESIMPULAN :
Cerita ini tergolong legenda.
Kalau asal nama kampung saya "Mugas" darimana ya Om? Biasanya oleh tmn2 suka bercanda dijadikan singkatan yg artinya "leMU tur nggraGAS." Hehehe...
BalasHapus