--Kampung Batik (tempat perajin batik),
--Pedamaran (tempat perdagangan damar/bahan pewarna batik),
--Petudungan (tempat perajin caping),
--Kulitan (tempat perajin/pengusaha kulit),
--Petolongan (tempat tukang-tukang talang),
--Gandekan (tempat perajin emas),
--Gendingan (tempat pembuat gamelan), dan sebagainya.
Dalam kampung kota yang padat terdapat berbagai masalah yang berkaitan
dengan lingkungan fisik dan kondisi sosial budaya ekonomi penduduknya.
Di kampung kota, sarana seperti air bersih, MCK, Listrik, dan berbagai
prasarana lingkungan seringkali tidak tersedia dengan baik. Kampung kota
juga tidak memiliki fasilitas-fasilitas seperti peribadatan, sekolah,
puskesmas, balai pertemuan, dan lapangan olahraga selain itu jalan-jalan
kampung umumnya sempit dan tidak diperkeras. Sebagian besar wilayah
kota-kota besar di Indonesia ditempati oleh pemukiman tidak terencana,
tempat tinggal kebanyakan kaum migran ke kota yang dinamakan kampung.
Satu kampung biasanya terbentuk dengan pertumbuhan penghuni sedikit-demi
sedikit dan tidak melalui kedatangan banyak orang sekaligus. Karena
kampung-kampung ini tidak direncanakan dan sering berpenduduk padat
(sampai 900 orang tiap ha), betapapun tanahnya dibagi-bagi lagi,
prasarana tetap tidak memadai; jalan dan gang sempit sekali, becek,
tidak diaspal, sarana jamban sama dengan di daerah pedesaan, air bersih
tidak ada, sekolah, pusat kesehatan dan pelayanan untuk masyarakat serta
lapangan untuk bermain atau rekreasi tidak ada, serta penampilannya
kurang ‘cantik’ memberikan efek visual yang tidak baik. Memang salah
satu ciri khas kampung-kota ini adalah kemiskinan dan buruknya kualitas
hidup. Kampung kota bisa juga diartikan sebagai suatu permukiman yang
tumbuh di kawasan urban tanpa perencanaan infrastruktur dan jaringan
ekonomi kota.
Namun di sisi lain kampung-kota
mewakili suatu budaya bermukim yang memberi warna dan aktifitas khas
perkotaan di Indonesia. Bagaimanapun komunitas ini secara potensial
memiliki konsep sendiri tentang rumah di tengah kehidupan modern, konsep
lahir dari perjuangan `mempertahankan hidup’ (survival) masyarakat
tradisional agraris di tengah kultur modern perkotaan. Hal ini dalam
modus arsitektural bisa dipandang menjadi suatu potensi sebagai produk
arsitektur yang khas Indonesia, suatu ‘dunia hidup’ ala Indonesia. Maka
dari itu diperlukan suatu program pembangunan fisik yang menjaga tetap
tumbuh dan berkembangnya kekuatan sosial ekonomi dan kultural komunitas
tersebut.
Kondisi penduduk kampung kota, di kawasan Kelurahan Jagalan pada khususnya, memiliki sebuah fenomena tersendiri. Seiring dengan perkembangan waktu, semakin banyak penduduk yang bermigrasi dan menetap di dalamnya. Mereka memilih pindah ke kampung kota dengan berbagai alasan, terutama karena letak kampung kota yang dekat dengan pusat perekonomian sehingga mudah untuk mencari pekerjaan. Selain oleh oleh jumlah pendatang yang cukup banyak, biasanya keturunan penduduk setempat akan memilih tetap tinggal di kampung tersebut. Mereka akan menetap di rumah orang tua sehingga dalam sebuah rumah ada kemungkinan ditempati oleh lebih dari satu kepala keluarga. Kedua keadaan tersebut menjadikan kampung kota semakin padat jumlah penduduknya. Dengan semakin padatnya jumlah penduduk, kondisi kampung akan semakin timbul banyak masalah. Selain masalah pada tata ruang dan bangunan massa serta tingkat kebersihan lingkungan, masalah yang muncul adalah masalah kependudukan. Penduduk pendatang tidak semuanya memiliki kebiasaan baik, kebanyakan dari mereka akan mengalami perubahan kebiasaan setelah menetap lama di kampung kota. Biasanya mereka akan terpengaruh oleh budaya kerja yang terlalu keras di perkotaan sehingga muncul gangguan psikologis berupa stress. Untuk mengatasi hal tersebut, mereka akan menghilangkannya dengan cara berkumpul bersama tetangga di area terbuka kampung sambil beristirahat. Karena kurangnya area terbuka di kampung, maka mereka akan memilih berkumpul bersama di sekitar jalanan kampung. Kegiatan ini, mereka lakukan pada tiap malam hari hingga larut atau menjelang dini hari.
Sejarah Kampung
Semarang merupakan sebuah kota yang memiliki banyak kawasan kuno yang dibangun pada zaman penjajahan Belanda ataupun pada masa sebelumnya. Beberapa kawasan kuno tersebut merupakan kampung-kampung tradisional yang didirikan oleh penduduk setempat untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal dan penghidupan. Kebanyakan dari kampung-kampung yang didirikan oleh penduduk setempat berada di dekat lokasi pusat pemerintahan dan perdagangan, yakni di sekitar Kota Lama yang merupakan pusat permerintahan Kotapraja Semarang pada masa pendudukan Belanda. Pada masa setelah kemerdekaan Indonesia, kampung-kampung tersebut di angkat statusnya sebagai sebuah kelurahan sendiri-sendiri. Termasuk kampung Gandekan merupakan kelurahan tersendiri yang berbeda dari kampung-kampung di sekitarnya. Pada masa berikutnya, hal ini dirasa kurang efektif karena daerahnya terlalu kecil sehingga jumlah Kepala Kelurahannya terlalu banyak, maka kampung-kampung tersebut dilebur menjadi satu, yakni menjadi ;
Kelurahan Jagalan yang wilayahnya meliputi beberapa kampung kuno, seperti kampung Gandekan, Kulitan, Kentangan, dan Gareman. Kampung Gandekan sendiri merupakan wilayah yang berada dalam kawasan satu RW dengan kampung Kulitan dan Kentangan. Wilayah kampung Gandekan dibagi menjadi dua wilayah RT (RT 1 dan RT 2) dengan Jalan Gandekan sebagai pembatas keduanya.
Source : http://fariable.wordpress.com/