Jumat, 24 Februari 2012

Kampung-Kampung di Kota Semarang :

Seperti biasanya yang terjadi di Jawa bahwa di sekitar pusat-pusat kekuasaan kuno terdapat kampung-kampung (toponim) yang diberi nama sesuai dengan profesi atau mata pencarian penduduknya, begitu juga dengan keadaan di Kota Semarang, yakni kampung-kampung tradisional yang berkembang di sekitar pusat pemerintahan Kotapraja Semarang diberi nama sesuai dengan nama profesi dari mayoritas penduduknya. Profesi penduduk itu sendiri, muncul sebagai akibat logis dari permintaan pasar dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang tinggal di wilayah pusat-pusat pemerintahan. Beberapa toponim yang terletak di pusat pemerintahan Semarang kuno (di sekitar Bubakan) adalah:
--Kampung Batik (tempat perajin batik),
--Pedamaran (tempat perdagangan damar/bahan pewarna batik),

 
Jalan Pedamaran

--Sayangan (tempat perajin alat-alat rumah tangga dari logam/tembaga),


--Petudungan (tempat perajin caping), 

Jalan sayangan
 --Kulitan (tempat perajin/pengusaha kulit),Mesjid tasripin, Kampung Kulitan

 --Petolongan (tempat tukang-tukang talang),Jalan Petolongan



--Gandekan (tempat perajin emas),Jalan Gandekan

--Gendingan (tempat pembuat gamelan), dan sebagainya.Jalan Gendingan tempo dulu

        Dalam kampung kota yang padat terdapat berbagai masalah yang berkaitan dengan lingkungan fisik dan kondisi sosial budaya ekonomi penduduknya. Di kampung kota, sarana seperti air bersih, MCK, Listrik, dan berbagai prasarana lingkungan seringkali tidak tersedia dengan baik. Kampung kota juga tidak memiliki fasilitas-fasilitas seperti peribadatan, sekolah, puskesmas, balai pertemuan, dan lapangan olahraga selain itu jalan-jalan kampung umumnya sempit dan tidak diperkeras. Sebagian besar wilayah kota-kota besar di Indonesia ditempati oleh pemukiman tidak terencana, tempat tinggal kebanyakan kaum migran ke kota yang dinamakan kampung. Satu kampung biasanya terbentuk dengan pertumbuhan penghuni sedikit-demi sedikit dan tidak melalui kedatangan banyak orang sekaligus. Karena kampung-kampung ini tidak direncanakan dan sering berpenduduk padat (sampai 900 orang tiap ha), betapapun tanahnya dibagi-bagi lagi, prasarana tetap tidak memadai; jalan dan gang sempit sekali, becek, tidak diaspal, sarana jamban sama dengan di daerah pedesaan, air bersih tidak ada, sekolah, pusat kesehatan dan pelayanan untuk masyarakat serta lapangan untuk bermain atau rekreasi tidak ada, serta penampilannya kurang ‘cantik’ memberikan efek visual yang tidak baik. Memang salah satu ciri khas kampung-kota ini adalah kemiskinan dan buruknya kualitas hidup. Kampung kota bisa juga diartikan sebagai suatu permukiman yang tumbuh di kawasan urban tanpa perencanaan infrastruktur dan jaringan ekonomi kota.

       Namun di sisi lain kampung-kota mewakili suatu budaya bermukim yang memberi warna dan aktifitas khas perkotaan di Indonesia. Bagaimanapun  komunitas ini secara potensial memiliki konsep sendiri tentang rumah di tengah kehidupan modern, konsep lahir dari perjuangan `mempertahankan hidup’ (survival) masyarakat tradisional agraris di tengah kultur modern perkotaan. Hal ini dalam modus arsitektural bisa dipandang menjadi suatu potensi sebagai produk arsitektur yang khas Indonesia, suatu ‘dunia hidup’ ala Indonesia. Maka dari itu diperlukan suatu program pembangunan fisik yang menjaga tetap tumbuh dan berkembangnya kekuatan sosial ekonomi dan kultural komunitas tersebut.


        Kondisi penduduk kampung kota, di kawasan Kelurahan Jagalan pada khususnya, Klentheng Pak Kik Bio, Jalan Jagalanmemiliki sebuah fenomena tersendiri. Seiring dengan perkembangan waktu, semakin banyak penduduk yang bermigrasi dan menetap di dalamnya. Mereka memilih pindah ke kampung kota dengan berbagai alasan, terutama karena letak kampung kota yang dekat dengan pusat perekonomian sehingga mudah untuk mencari pekerjaan. Selain oleh oleh jumlah pendatang yang cukup banyak, biasanya keturunan penduduk setempat akan memilih tetap tinggal di kampung tersebut. Mereka akan menetap di rumah orang tua sehingga dalam sebuah rumah ada kemungkinan ditempati oleh lebih dari satu kepala keluarga. Kedua keadaan tersebut menjadikan kampung kota semakin padat jumlah penduduknya. Dengan semakin padatnya jumlah penduduk, kondisi kampung akan semakin timbul banyak masalah. Selain masalah pada tata ruang dan bangunan massa serta tingkat kebersihan lingkungan, masalah yang muncul adalah masalah kependudukan. Penduduk pendatang tidak semuanya memiliki kebiasaan baik, kebanyakan dari mereka akan mengalami perubahan kebiasaan setelah menetap lama di kampung kota. Biasanya mereka akan terpengaruh oleh budaya kerja yang terlalu keras di perkotaan sehingga muncul gangguan psikologis berupa stress. Untuk mengatasi hal tersebut, mereka akan menghilangkannya dengan cara berkumpul bersama tetangga di area terbuka kampung sambil beristirahat. Karena kurangnya area terbuka di kampung, maka mereka akan memilih berkumpul bersama di sekitar jalanan kampung. Kegiatan ini, mereka lakukan pada tiap malam hari hingga larut atau menjelang dini hari.

Sejarah Kampung
              Semarang merupakan sebuah kota yang memiliki banyak kawasan kuno yang dibangun pada zaman penjajahan Belanda ataupun pada masa sebelumnya. Beberapa kawasan kuno tersebut merupakan kampung-kampung tradisional yang didirikan oleh penduduk setempat untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal dan penghidupan. Kebanyakan dari kampung-kampung yang didirikan oleh penduduk setempat berada di dekat lokasi pusat pemerintahan dan perdagangan, yakni di sekitar Kota Lama yang merupakan pusat permerintahan Kotapraja Semarang pada masa pendudukan Belanda. Pada masa setelah kemerdekaan Indonesia, kampung-kampung tersebut di angkat statusnya sebagai sebuah kelurahan sendiri-sendiri. Termasuk kampung Gandekan merupakan kelurahan tersendiri yang berbeda dari kampung-kampung di sekitarnya. Pada masa berikutnya, hal ini dirasa kurang efektif karena daerahnya terlalu kecil sehingga jumlah Kepala Kelurahannya terlalu banyak, maka kampung-kampung tersebut dilebur menjadi satu, yakni menjadi  ;
Kelurahan Jagalan yang wilayahnya meliputi beberapa kampung kuno, seperti kampung Gandekan, Kulitan, Kentangan, dan Gareman. Kampung Gandekan sendiri merupakan wilayah yang berada dalam kawasan satu RW dengan kampung Kulitan dan Kentangan. Wilayah kampung Gandekan dibagi menjadi dua wilayah RT (RT 1 dan RT 2) dengan Jalan Gandekan sebagai pembatas keduanya.

Source :  http://fariable.wordpress.com/

Nama-nama Jalan dan tempat tempo doeloe


Achterkerkstraat - Jl. Garuda
Alexanderstraat - Karanganyar Gunung
Aloon-aloon - Jl. H. Agus Salim
Ambengan - Jl. MT Haryono (antara Jl. Jagalan s/d Jl. Petudungan)
Atmodironoweg - Jl. Atmodirono
Bangkong - Jl. MT Haryono (antara perempatan Bangkong s/d Metro)
Be Biauw Tjwanweg - Jl. DI. Panjaitan
Bendoengan - Jl. Kelud
Bergotaweg - Jl. Kyai Saleh
Boeloe - Jl. MGR. Sugiyopranoto
Dr. Djawastraat - Jl. Kol. Sugiyono
Djoernatan - Jl. H. Agus Salim
Djomblang - Jl. MT. Haryono (antara Metro_Java Mal s/d Mrican)
Doewet - Jl. Gajahmada (antara perempatan Depok, Kranggan s/d Jl. Pemuda)
Genielaan (Senilan) - Jl. Tanjung
Genoek - Jl. Sriwijaya (antara Jl. Pahlawan s/d pertigaan Singosari)
Gergadji - Jalan Veteran
Halmaheraweg - Jalan Halmahera
Hawaweg - Jalan Hawa
Heerenstraat - Jalan Letjen. Suprapto
Hiriweg - Jalan Hiri
Hoogenraadslaam - Jl. A. Yani
Kali Koping - Kali Semarang
Karrenweg - Jl. Dr. Cipto (antara Mulo s/d Rejosari)
Karang Tengah - Jl. Pierre Tendean
Kemoeningstraat - Jl. Kemuning
Koendjaranplein - Jl. Sompok
Lucieparaweg - Jl. Lusipara
Mangkoenegaran - Jl. Yudistiro dan sekitarnya (belakang Wisma Perdamaian)
Oei Tiong Bing weg - Jalan Sultan Agung
Oei Tiong Ham weg - Jalan Pahlawan
Pandean - Jl. MT. Haryono ( antara Jl. Petudungan s/d Bubakan)
Pandean Lamper - Jl. Brigjen Katamso
Peloran - Jln Gajahmada (Kali Semarang s/d Perempatan Depok)
Prins Hendriklan (Pendrikan) - Jalan Imam Bonjol
Pieter Sijthofflaan - Jalan Pandanaran
Progoplein - Taman Progo
Rezervoirweg - Jl. Djomblang
Seteran (Schietterein) - Jln Gajahmada (Kali Semarang s/d Citraland)
Tjap Kauking - sekitar Wot gandul
Toempangweg - Jl. Tumpang
Villapark - Westerwalstraat
Wilhelminaplein -Seputar Tugu Muda
Woengkalweg - Jl. Wungkal

Minggu, 12 Februari 2012

Jumat, 10 Februari 2012

My Facebook


Mengenal Sedikit Tentang : KAMPUNG BATIK DAN BATIK SEMARANGAN

Lokasi Kampung Batik berada di dekat kawasan Bubakan. Menurut Serat Kandhaning Ringit Purwo naskah KGB Nr. 7, pada akhir abad ke-15, Kawasan Bubakan pernah menjadi tempat kediaman Ki Pandan Arang I, yang bertugas sebagai juru nata (pejabat kerajaan) di bawah kekuasaan kerajaan Demak. Karena kawasan Bubakan menjadi tempat tinggal sang juru nata, tempat tersebut juga dikenal dengan Jurnatan. Suatu hal yang lazim di Jawa adalah bahwa di sekitar pusat-pusat kekuasaan kuno terdapat nama-nama tempat (toponim) yang sesuai dengan profesi penduduknya. Beberapa toponim yang terletak di pusat pemerintahan Semarang kuno adalah: Kampung Batik (tempat perajin batik), Sayangan (tempat perajin alat-alat rumah tangga dari logam/tembaga), Petudungan (tempat perajin caping), Kulitan (tempat perajin/pengusaha kulit), Pedamaran (pasar damar/bahan ramuan batik) dan sebagainya.
Berdasarkan pada fenomena yang telah diuraikan di atas, dilakukan penelusuran sumber sejarah di Kampung Batik dengan metode sejarah lisan. Beberapa informan sesepuh di kampung itu membenarkan bahwa dulu Kampung Batik memang pernah menjadi salah satu sentra perajin batik sampai dengan kedatangan Jepang pada tahun 1942.  Pada masa pendudukan Jepang, Kampung Batik dibakar sampai musnah segala aktivitas ekonominya. Ada dua versi kisah tentang pembakaran kampung Batik. Versi Pertama mengisahkan bahwa kampung batik dibakar oleh tentara Jepang, ketika terjadi konflik antara pemuda warga kampung Batik dan Jepang (wawancara dengan Ibu Tien Wahono /65 tahun, warga Kampung Batik Krajan Baru). Versi Ke dua menceritakan bahwa ketika Jepang datang di Semarang, pemerintah Belanda di kota ini memberikan instruksi secara diam-diam untuk membumihanguskan tempat-tempat yang memiliki potensi ekonomi (Brommer dkk.). Kampung Batik menjadi sasaran pembakaran, sehingga peralatan-peralatan dan kegiatan membatik sirna hingga sekarang.
Dulu banyak warga Kampung Batik melakukan kegiatan membatik dengan motif-motif yang sesuai dengan kehendak perajin sendiri. Jadi, mereka membatik tanpa motif yang baku seperti di daerah Surakarta dan Yogyakarta. Perajin batik tidak hanya terdapat di Kampung Batik, tetapi juga di Kampung Kulitan, Bugangan, Rejosari, dan lain-lain.

Motif Batik Semarang
Menurut penuturan beberapa sesepuh di kampung-kampung kuno di Kota Semarang, dulu orang Semarang membatik untuk dipakai sendiri. Dengan demikian, motif batik rakyat tergantung pada keinginan, imajinasi, ekspresi, dan kreasi pembatik. Rakyat Semarang tidak pernah membakukan motif dan nama batik seperti batik di vorstenlanden (kerajaan Surakarta dan Jogjakarta), contohnya: Sido Mukti, Sido Luhur, Sekar Jagat, Parang Kusumo, Parang Barong, dan sebagainya.

Pada umumnya, orang Semarang tempo dulu membatik dengan motif naturalis (ikan, kupu-kupu, burung, ayam, bunga, pohon, bukit, dan rumah), tidak simbolis seperti batik-batik di Surakarta dan Jogjakarta.  Dari penelitian, dapat diketahui bahwa motif naturalis  menjadi ciri khas batik yang diproduksi oleh masyarakat pesisir utara Jawa. Ciri ini dapat dimaknai sebagai karakter masyarakat pesisir yang lebih terbuka dan lebih ekspresionis jika dibandingkan dengan masyarakat pedalaman Jawa (Surakarta dan Jogjakarta) yang lebih dilingkupi oleh sistem simbol, norma-norma, dan aturan-aturan di bawah kekuasaan raja.


Konon, orang-orang Semarang tempo dulu sangat menyukai motif burung merak dengan latar perbukitan dan pohon bambu. Setelah diteliti lebih mendalam, ternyata motif ini merupakan pengaruh dari kebudayaan Cina, yang mempercayai bahwa burung merak dan bambu memiliki nilai filosofi yang sangat bagus untuk kehidupan.
Berdasarkan A Dictionary of Chinese Symbols, burung merak merupakan lambang keagungan, keindahan, pelindung keturunannya dari segala bahaya, serta dapat mengusir pengaruh-pengaruh buruk. Oleh karena makna yang bagus itu, dalam kebudayaan Cina gambar burung merak sering digunakan sebagai hiasan busana kebesaran pejabat-pejabat kerajaan. Rumpun bambu, yang dalam bahasa Cina disebut Zhu, bermakna lambang permohonan doa. Selain itu, pohon bambu juga memiliki ruas-ruas yang merupakan simbol silsilah, dan merupakan ciptaan Tuhan yang dapat hidup di segala iklim serta cuaca. Sifatnya ini menjadi lambang kemudahan dalam menempuh kehidupan.Oleh karena itu, gambar burung merak dan rumpun bambu sering digunakan sebagai hiasan pada kaca-kaca, kartu-kartu ucapan, dan kain.




Pada awal abad ke-20 sampai dengan tahun 1970-an, di Semarang ada satu perusahaan batik yang bernama “Batikkerij Tan Kong Tin”. Perusahaan batik ini terletak di Bugangan, milik orang Tionghoa peranakan bernama Tan Kong Tin, yang menikah dengan Raden Ayu Dinartiningsih, salah satu keturunan Hamengku Buwana III dari Jogjakarta.
Tan Kong Tin memperoleh keahlian membatik dari istrinya yang masih kerabat keraton Jogja tersebut. Ia adalah salah seorang putera dari Tan Siauw Liem, seorang tuan tanah di Semarang, yang mendapat gelar mayor dari pemerintah Hindia Belanda. Kekayaan tanahnya meliputi kawasan Bugangan sampai Plewan, seluas 90 ha. Jadi, tidaklah mengherankan jika puteranya diambil sebagai menantu oleh sultan di Jogjakarta.
Keahlian dalam usaha batik diturunkan kepada puteri Tan Kong Tin, Raden Nganten Sri Murdijanti, yang meneruskan perusahaan Tan Kong Tin sampai dengan tahun 1970-an. Setelah kemerdekaan Indonesia, Raden Nganten Sri Murdijanti memperoleh hak monopoli batik untuk wilayah Jawa Tengah dari Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI).


“Batikkerij Tan Kong Tin” memiliki sejumlah pegawai yang digolongkan dalam fungsi-fungsi sebagai berikut: carik (pembuat design motif batik), pembatik, dan tukang celup. Jumlah pembatik di perusahaan itu cukup banyak, berasal dari kampung-kampung Rejo sari, Kintelan, Kampung Batik, Karang Doro, Mlaten Trenggulun, Kampung Darat, dan Layur. Jumlah produk batik disesuaikan dengan pesanan, jadi tidak diproduksi secara massa, mengingat pembuatannya sangat rumit dan memerlukan waktu lama (kira-kira satu bulan setiap lembar kain sepanjang 2,5 meter). Pemesan batik pada masa kolonial Belanda berasal dari kalangan pejabat-pejabat pemerintahan, para turis, dan pedagang. Produk-produk yang dipesan berupa jarit, selendang, dasi, dan topi.
Motif-motif batik “Batikkerij Tan Kong Tin” mengekspresikan perpaduan antara motif batik Jogja dan pesisir. Perpaduan budaya ini dapat dipahami dengan mengingat bahwa keluarga Tan Kong Tin memang campuran antara orang Jogja dan Semarang, serta secara geografis letak Semarang dekat dengan Jogja, sehingga kedua unsur budaya itu tentu dapat saling mempengaruhi dan saling mengadaptasi. Berikut ini diketengahkan contoh motif batik Semarang, yang diproduksi oleh “Batikkerij Tan Kong Tin”.
Source : dari berbagai sumber.




    
Motif Cheng Ho neng Klentheng


  
Motif Gambang Semarangan


  
Motif Gedangan Asri


  
Motif Parang Asem Baris (Biru)

  
Motif Parang Asem Baris (Merah)

  
Motif Puspaning Puspo

  
Motif Langgam Asem Arang

  
Motif lawangsewu

Jalan MGR. Sugijopranoto

  Jalan MGR. Sugijopranoto (sekarang) ujung Bodjongscheweg (Jalan Pemuda) sekitar tahun 1905.

Pemberhentian Trem Khusus sekitar tahun 1920-an.

Pemberhentian Trem Khusus sekitar tahun 1920-an. Ada yang tahu letak lokasi foto ini?

RSU Dr. Kariyadi tempo dulu :


SMA Negeri I Semarang tempo dulu


Jalan pahlawan, dari masa ke masa...




Simpang Lima

 Simpang Lima tempodulu, sekitar tahun 1970-an...
Membaca lagi lembaran masa lalu,
di setiap waktu selalu ada sisi kelabu,
termasuk kampung Batik yang pernah jadi abu,
juga Chiho Senbai Kyoku yang sekarang musnah
berganti pertokoan tak laku.-HS


Chiho Senbai Kyoku adalah eks Kantor DPU Provinsi Jawa Tengah.
(Jl. Kolonial Sugiono dekat Eks Hotel Dibyapuri dan Hotel Metro).

APOTIK SPUTNIK


  Jalan Pandanaran, depan Apotik Sputnik masih belum sesemrawut sekarang... (1980-1985)...






Gapura Aloon-aloon

Aloon-aloon Semarang (tanpa keterangan tahun). Di seberang terdapat Restaurant Oewa dengan iklan "Bier Koentji Satoe". Gapura di sebelah kiri bertuliskan "Stadstuit" yg artinya taman. Setahu saya gapura tersebut adalah gapura Masjid Kauman.
 
 
 
Kiriman : Andana Suparman

Een stoomtrein voor het hoofdkantoor van de Semarang-Joana Stoomtrammaatschappij ca. 1915

Foto Kereta Api Uap NIS J.P. Bordes jurusan Stasiun Jurnatan Semarang - Stasiun Juwana (Pati) di depan kantor pusat perkeretaapian Semarang-Joana Stoomtrammaatschappij (SJS) di Spoorlaan (sekarang Jl. Ronggowarsito) sekitar tahun 1915. Merupakan kereta api uap pertama di Indonesia yang berfungsi mengangkut hasil bumi termasuk minyak bumi dari Cepu untuk disimpan di Stasiun Samarang NIS (Stasiun Semarang Gudang).
 
Kiriman : Andana Suparman





BIOSKOP GRAND (GELORA) SEMARANG TEMPO DULU





Bioskop Grand Jalan Mataram (a.k.a. Gelora)
Arsitek : Ir. Liem Bwan Tjie
sekarang jadi Mataram plasa

Kamis, 09 Februari 2012

Makam Thio Sing Liang di Jalan SriwIjaya, Semarang

Sebelum pertigaan Jalan Sriwijaya dan Jalan Tegalsari, disebelah kanan jalan tentu kita selalu melewati sebuah bangunan model China, yang dipenuhi para pedagang kaki lima, bangunan kuno tersebut merupakan makam Thio Sing Liang seorang kaya raya yg meninggal pd thn 1940. Di dalam bangunan tersebut terdapat 4 buah makam yaitu makam Thio Sing Ling dan istri ke 2 di dalam gedung utama dan istri pertama dan kerabatnya di luar gedung di belakang. Source : www.skyscrappercity.com




Orang Semarang Tempo Dulu